CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Sabtu, 28 Mei 2011

ISSUE LEGAL DAN TANTANGAN DALAM PROFESI KEPERAWATAN YANG BERKAITAN DENGAN PENGATURAN PRAKTEK KEPERAWATAN

2.1 FALSFAH PRAKTIK KEPERAWATAN
Sebagian besar dasar falsafah praktik keperawatan professional disusun merujuk kepada konsep praktik keperawatan professional dan teori keperawatan. Falsafah praktik keperawatan secara umum mengandung dasar-dasar pemikiran yang sama untuk mengemban tugas keperawatan,tetapi di setiap Negara,pernyataan yang disusun juga disesuaikan dengan nilai dan latar belakang budayanya.
Dalam Lokakarya Nasional bulan Januari 1983 telah disepakati adanya profesionalisasi keperawatan dengan menetapkan pengertian keperawatan, falsafah keperawatan, serta peran dan fungsi perawat.
Pernyataan falsafah keperawatan di Indonesia
1. Perawat merupakan bantuan,diberikan karena adanya kelemahan fisik an mental, keterbatasan pengetahuan , serta kurangnya kemauan menuju kepada kemampuan melaksanakan kegiatan hidup sehari-hari.
2. Kegiatan dilakukan dalam upaya penyembuhan , pemulian, serta pemeliharaan kesehatan dengan penekanan kepada upaya pelayaab utama (PHC) sesuai dengan wewenang, tanggung jawab dan etika keperawatan.
FalsafahKeperawatan dari lokakarya 1983 dapat dipakai sebgai kerangka untuk menyusun falsafah praktik keperawatan kita tidak dapat hanya mengacu kepada satu teori keperawatan, namun falsafah harus menjelaskan berbagai pandangan dasar tentang hakikat manusia da esensi keperawatan sehingga dapat dijadikan kerangka dasar yang kokh bagi pratik keperawatan.



2.2 PENGERTIAN PRAKTIK KEPERAWATAN PROFESIONAL
Praktik keperawata adalah: Tindakan mandiri perawat professional melalui kerja sama bersifat kolaboratif dengan pasien/klien dan tenaga kesehatan lainnya dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai lingkup wewenang dan tanggung jawabnya
Karakteristik praktik keperawatan professional
1. Otoritas (authority), yakni memiliki kewenangan sesuai dengan keahliannya yang akan memengaruhi prose asuhan melalui peran professional.
2. Akuntabilitas (accountability), yaknu tanggung gugat terhadap apa yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hokum yang berlaku dan tanggung jawab kepada klien,diri sendiri, dan profesi, serta mengambil keputusan yang berhubungan dengan asuhan
3. Pengambilan keputusan yang mandiri (independent decision ,making), berarti sesuai denagn kewenangannya dengandilandasi oleh pengetahuan yang kokoh dan keputusan (judgment) pada tiap tahapproses keperawatan dalam menyelesaikan masalah klien.
4. Kolaborasi,atinya dapat bekerja sama, baik lintas program maupun lintas sector dengan berbagai disiplin dalam mengakse masalh klien dan membantu klien menyelesaikannya.
5. Pembelaan atau dukungan (advokasi), artinya bertindak demi hakl klien untuk mendapatkan asuhan yang bermutu dengan mengadakan intervensi untuk kepentingan atau demi klien, dalam mengatasi masalahnya, serta behadapan dengan pihak-pihak lain yang lebih luas (sistem at large).
6. Fasilitasi (Facilitation), artinya mampu memberdayakan klien dalam upaya meningkatkan derajat kesehatannya demi memaksimalkan potensi dari organisasi dan sistem klien keluarga dalam asuhan.
2.3 HAKIKAT PRAKTIK KEPERAWATAN
Pada hakikatnya, keperawatan sebagai profesi senantiasa mengabdi kepada kemanusiaan, mendahulukan kepentingan kesehatan klien diatas kepentingan sendiri, bentuk pelayanan bersifat humanistik, menggunakan pendekatan secara holistik, dilaksanakan berdasarkan pada ilmu dan kiat kepperawatan serta menggunakan kode etik sebagai tuntutan utama dalam melaksankan asuhan keperawatan.
Hubungan profesional perawat klien yang pada hakikatnya mengacu pada sistem interaksi antara perawat klien secara positif atau mengadakan hubungan terapeutik yang berarti bahwa setiap interaksi yang dilakukan memberikan dampak terapeutik yang memungkinkan klien untuk berkembang lebih baik.
Karakteristik hubungan profesional
1. Berorientasi pada kebutuhan klien
2. Diarahkan pada pencapaian tujuan
3. Bertanggung jawab dalam menyelesaikan masalah klien
4. Memahami kondisi klien dengan berbagai keterbatasannya
5. Memberikan penilaian berdasarkan norma yang disepakati antara pearawat klien
6. Berkewajiban memberi bantuan pada klien agar mampu menolong dirinya secara mandiri
7. Berkewajiban untuk membina hubungan berdasarkan pada rasa percaya
8. Bekerja sesuai kaidah etik untuk menjaga kerahasiaan klien dan hanya menggunakan informasi untuk kepentingan dan persetujuan klien
9. Berkewajiban menggunakan komunikasi efektf dalam memenuhi kebutuhan klien
Dengan terciptanya hubungan profesional perawat-klien, maka perawat sebagai pemberi pelayanan keperawatan atau praktisi keperawatn akan mendapat suatu kepercayaan (profesional trust)

2.4 FOKUS PRAKTIK KEPERAWATAN PROFESIONAL
Praktik keperawatan tidak boleh terlepas dari upaya kesehatan masyarakat dunia dan sistem kesehatan nasional. Fokus utama keperawatan saat ini adalah kesehatan masyarakat dengan target populasi total. Manusia tidak dipandang hanya dari aspek fisik tetapi dipandang sebagai makhluk yang holistik yang terdiri atas bio-psiko-sosio-kultural dan spiritual.
Tujuan praktik keperawatan sesuai yang dicanangkan WHO (1985) harus diupayakan pada pencegahan primer, peningkatan kesehatan pasien, keluarga dan masyarkat, perawatan diri dan peningkatan kepercayaan diri.
Praktik keperawatan meliputi 4 area yang terkait dengan kesehatan (kozier dan erb,1990), yaitu
1. Peningkatan kesehatan (health promotion)
2. Pencegahan penyakit
3. Pemeliharaan kesehatan (health maintenance)
4. Pemulihan kesehatan (health restoration) dan
5. Perawatan pasien menjelang ajal

2.5 LINGKUP KEWENANGAN PERAWAT
Kewenangan perawat adalah hak dan otonomi untuk melaksanakan asuhan keperawatan berdasarkan kemampuan, tingkat pendidikan, dan posisi yang dimiliki. Lingkup kewenangan perawat dalam ptaktik keperawatan profesional pada kondisi sehat dan sakit sepanjan daur kehidupan (mulai dari konsepsi sampai meninggal dunia), mencakup hal-hal berikut:
1. Asuahan keperawatan anak, yaitu asuhan keperawatan yang diberikan pada anak berusia mulai dari 28 hari sampai 18 tahun.
2. Asuhan Keperawatan maternitas, yaitu asuhan keperawatanm klien wanita pada masa subur dan neonatus (bayi baru lahir-28 hari) dalam keadaan sehat
3. Asuhan keperawatan medikal-bedah, yaitu asuhan pada klien usia diatas 18tahun-60tahun dengan gangguan fungsi tubuh baik karena trauma/kelainan fungsi tubuh
4. Asuhan keperawatan jiwa, yaitu asuhan kepearawatan pada semua usia yang mengalami berbagai masalah kesehatan jiwa
5. Asuhan keperawatan keluarga, yaitu asuhan keperawatan pada klien keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat sebagai akibat pola penyesuaian keluarga yang tidak sehat sehingga tidak terpenuhinya kebutuhan keluarga
6. Asuahan kepearawatan komunitas, yaitu asuhan keperawatan pada klien masyarakat pada kelompok diwilayah tertentu pada semua usia sebagai akibat tidak terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat.
7. Asuhan keperawatan gerontik, yaitu asuhan keperawatan pada usia 60 tahun keatas yang mengalami masalah penuaan dan permasalahannya.

2.6 SISTEM PENGATURAN PRAKTIK KEPERAWATAN
Praktik keperawatan perlu diatur dengan seperangkat undang-undang/peraturan yang mengatur praktik yang bermutu. Pengaturan ini diperlukan karena beberapa alsan berikut.
Perlindungan terhadap masyarakat
1. Alasan utama perlunya pengaturan praktik keperawatan yakni mengacu kepada azas untuk melindungi masyarakat penggunan jasa pearawat. Azas ini dapat dilaksanakan apabila ada seperangkat undang-undang/peraturan yang mengatur praktik keperawatan, sehingga praktik yang dilaksanakan bermutu. Masyarakat akan terlindung terhadap tindakan kelalaian atau tidak tepat dalam praktik kepearwatan tersebut.
2. Dengan berkembangnya IPTEK dan berdampak pula terhadap pendidikan dasar masyarakat yang makin meningkat, maka masyarakat semakin kritis dalam memenuhi kebutuhannya termasuk kebutuhan terhadap pelayanan keperawatan yang bermutu.
3. Era sejagatan atau globalisasi sudah diambang pintu yang akan ditandai dengan adanya pasar bebas, tempat disetiap negara dapat menawarkan produk dan jasanya ke Indonesia, termasuk jasa keperawatan
Perlindungan terhadap perawat sebagai pemberi pelayanan keperawatan(care provider)
1. Mencegah penyimpangan atau malpraktek
Pada dasarnya setiap profesi bertanggung jawab terhadap kinerjanya dan harus dapat mempertanggung jawabkan pelayanan yang diberikan. Untuk itu perlu adanya undang-aundang atau peraturan yang mengaturnya sehingga lingkup prakter keperawatan dan bats kewenangan menjdi jelas.
2. Otonomi perawat
Setiap profesi seyogyanya memiliki otonomi yang luas untuk mengatur ketentuan praktek yang akan dilaksanakan termasuk keperawatan. Hal ini dimungkinkan karena keperawatan memiliki ilmu dan kiat yang mendasari praktek profesionalnya.



3. Globalisasi
Memasuki era globalisasi tenaga perawat Indonesia diharapkan mampu bersaing dengan perawat yang dating dari luar negeri.

Tujuan Perapan system regulasi atau penaturan praktek keperawatan
Ssisten regulasi merupakan sustu mekanisme pengaturan yang harus ditempuh oleh setiap tenaga keperawatan yang ingin untuk memberikan pelayanan keperawatan kepada klien.
Tujuan pokok system regulasi:
1. Menciptakan lingkungan system keperawatan yang didasarkan keinginan merawat(caring environment)
2. Menjamin bektuk keperawatan yang aman bagi klien.
3. Meningkatkan hubungan kesejawatan(kolegialitas).
4. Mengembangkan jaringan kerja yang bermanfaat bagi klien
5. Meningkatkan tanggung jawab professional dan social.
6. Meningkatkan advokasi bagi klien.
7. Meningkatkan system pencatatan dan pelaporan keperawatan.
8. Menjadi landasan untuk mengembangan karier tenaga keperawatan.


2.7 ISSUE LEGAL DALAM KEPERAWATAN BERKAITAN DENGAN HAK PASIEN
Kesadaran masyarakat terhadap hak-hak mereka dalam pelayanan kesehatan dan tindakan yang manusiawi semakin meningkat, sehingga diharapkan adanya pemberi pelayanan kesehatan dapat memberi pelayanan yang aman, efektif dan ramah terhadap mereka. Jika harapan ini tidak terpenuhi, maka masyarakat akan menempuh jalur hukum untuk membela hak-haknya.
Klien mempunyai hak legal yang diakui secara hukun untuk mendapatkan pelayanan yang aman dan kompeten. Perhatian terhadap legal dan etik yang dimunculkan oleh konsumen telah mengubah sistem pelayanan kesehatan.
Kebijakan yang ada dalam institusi menetapkan prosedur yang tepat untuk mendapatkan persetujuan klien terhadap tindakan pengobatan yang dilaksanakan. Institusi telah membentuk berbagai komite etik untuk meninjau praktik profesional dan memberi pedoman bila hak-hak klien terancam. Perhatian lebih juga diberikan pada advokasi klien sehingga pemberi pelayanan kesehatan semakin bersungguh-sungguh untuk tetap memberikan informasi kepada klien dan keluarganya bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukan.

2.8 HAK ASASI MANUSIA
Menurut sifatnya hak asasi manusia biasanya dibagi atau dibedakan dalam beberapa jenis (Prakosa, 1988), yaitu :
1. Personal Rights (hak-hak asasi pribadi)
2. Property Rights (hak asasi untuk memilih sesuatu)
3. Rights of legal equality
4. Political Rights (hak asasi politik)
5. Social and Cultural Rights (hak-hak asasi sosial dan kebudayaan)
6. Procedural Rights.

HAK PASIEN ANTARA LAIN :
• Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di RS dan mendapat pelayanan yang manusiawi, adil dan jujur
• Memperoleh pelayanan keperawatan dan asuhan yg bermutu
• Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dgn keinginannya dan sesuai dgn peraturan yang berlaku di RS
• Meminta konsultasi pada dokter lain (second opinion) terhadap penyakitnya
• “Privacy” dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data medisnya
• Mendapatkan informasi yg meliputi : penyakitnya, tindakan medik, alternative terapi lain, prognosa penyakit dan biaya.
• Memberikan izin atas tindakan yang akan dilakukan perawat
• Menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri
• Hak didampingi keluarga dalam keadaan kritis
• Hak menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya
• Hak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan
• Hak menerima atau menolak bimbingan moral maupun spiritual
• Hak didampingi perawat/keluarga pada saat diperiksa dokter
• Hak pasien dalam penelitian (Marchette, 1984; Kelly, 1987)

KEWAJIBAN PERAWAT :
• Wajib memiliki : SIP, SIK, SIPP
• Menghormati hak pasien
• Merujuk kasus yang tidak dpt ditangani
• Menyimpan rahasia pasien sesuai dgn peraturan perundang-undangan
• Wajib memberikan informasi kepada pasien sesuai dengan kewenangan
• Meminta persetujuan setiap tindakan yg akan dilakukan perawat sesuai dgn kondisi pasien baik scr tertulis maupun lisan
• Mencatat semua tindakan keperawatan secara akurat sesuai peraturan dan SOP yg berlaku
• Memakai standar profesi dan kode etik perawat Indonesia dalam melaksanakan praktik
• Meningkatkan pengetahuan berdasarkan IPTEK
• Melakukan pertolongan darurat yang mengancam jiwa sesuai dg kewenangan
• Melaksanakan program pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
• Mentaati semua peraturan perundang-undangan
• Menjaga hubungan kerja yang baik antara sesama perawat maupun dgn anggota tim kesehatan lainnya.

HAK-HAK PERAWAT
Hak perlindungan wanita.
Hak mengendalikan praktik keperawatan sesuai yang diatur oleh hukum.
Hak mendapat upah yang layak.
Hak bekerja di lingkungan yang baik
Hak terhadap pengembangan profesional.
Hak menyusun standar praktik dan pendidikan keperawatan.


2.9 MASALAH LEGAL DALAM KEPERAWATAN
Hukum dikeluarkan oleh badan pemerintah dan harus dipatuhi oleh warga negara. Setiap orang yang tidak mematuhi hukun akan terikat secara hukum untuk menanggung denda atau hukuman penjara. Beberapa situasi yang perlu dihindari seorang perawat :
a. Kelalaian
Seorang perawat bersalah karena kelalaian jika mencederai pasien dengan cara tidak melakukan pekerjaan sesuai dengan yang diharapkan ataupun tidak melakukan tugas dengan hati-hati sehingga mengakibatkan pasien jatuh dan cedera.
b. Pencurian
Mengambil sesuatu yang bukan milik anda membuat anda bersalah karena mencuri. Jika anda tertangkap, anda akan dihukum. Mengambil barang yang tidak berharga sekalipun dapat dianggap sebagai pencurian.
c. Fitnah
Jika anda membuat pernyataan palsu tentang seseorang dan merugikan orang tersebut, anda bersalah karena melakukan fitnah. Hal ini benar jika anda menyatakan secara verbal atau tertulis.
d. False imprisonment
Menahan tindakan seseorang tanpa otorisasi yang tepat merupakan pelanggaran hukum atau false imprisonment. Menggunakan restrein fisik atau bahkan mengancam akan melakukannya agar pasien mau bekerja sama bisa juga termasuk dalam false imprisonment. Penyokong dan restrein harus digunakan sesuai dengan perintah dokter.
e. Penyerangan dan pemukulan
Penyerangan artinya dengan sengaja berusahan untuk menyentuh tubuh orang lain atau bahkan mengancam untuk melakukannya. Pemukulan berarti secara nyata menyentuh orang lain tanpa ijin.Perawatan yang kita berikan selalu atas ijin pasien atau informed consent. Ini berarti pasien harus mengetahui dan menyetujui apa yang kita rencanakan dan kita lakukan.
f. Pelanggaran privasi
Pasien mempunyai hak atas kerahasiaan dirinya dan urusan pribadinya. Pelanggaran terhadap kerahasiaan adalah pelanggaran privasi dan itu adalah tindakan yang melawan hukum.
g. Penganiayaan
Menganiaya pasien melanggar prinsip-prinsip etik dan membuat anda terikat secara hukum untuk menanggung tuntutan hukum. Standar etik meminta perawat untuk tidak melakukan sesuatu yang membahayakan pasien.Setiap orang dapat dianiaya, tetapi hanya orang tua dan anak-anaklah yang paling rentan. Biasanya, pemberi layanan atau keluargalah yang bertanggung jawab terhadap penganiayaan ini. Mungkin sulit dimengerti mengapa seseorang menganiaya ornag lain yang lemah atau rapuh, tetapi hal ini terjadi. Beberapa orang merasa puas bisa mengendalikan orang lain. Tetapi hampir semua penganiayaan berawal dari perasaan frustasi dan kelelahan dan sebagai seorang perawat perlu menjaga keamanan dan keselamatan pasiennya.
2.10 KEPERAWATAN DI INDONESIA
Seiring dengan era reformasi dan era globalisasi di Indonesia saat ini, juga diikuti dengan perubahan pemahaman terhadap konsep sehat-sakit, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta penyebaran informasi tentang determinan kesehatan yang bersifat multifaktorial . Kondisi ini mendorong pembangunan kesehatan nasional ke arah paradigma baru yaitu paradigma sehat. Dalam perkembangannya keperawatan mengalami pasang surut sekaligus babak baru bagi kehidupan profesi keperawatan di Indonesia.

Gambaran Keperawatan di Indonesia
Kondisi keperawatan di Indonesia memang cukup tertinggal dibandingkan negara-negara ASEAN seperti Piliphina, Thailand, dan Malaysia, apalagi bila ingin disandingkan dengan Amerika dan Eropa. Pendidikan rendah, gaji rendah, pekerjaan selangit inilah paradoks yang ada. Rendahnya gaji menyebabkan tidak sedikit perawat yang bekerja di dua tempat, pagi hingga siang di rumah sakit negeri, siang hingga malam di rumah sakit swasta. Dalam kondisi yang demikian maka sulit untuk mengharapkan kinerja yang maksimal. Apalagi bila dilihat dari rasio perawat dan pasien, dalam satu shift hanya ada 2-3 perawat yang jaga sedangkan pasien ada 20-25 per bangsal jelas tidak proporsional(Yusuf,2006).

Jumlah perawat yang menganggur di Indonesia ternyata cukup mencengangkan. Hingga tahun 2005 mencapai 100 ribu orang. Hal ini disebabkan kebijakan zero growth pegawai pemerintah, ketidakmampuan rumah sakit swasta mempekerjakan perawat dalam jumlah memadai, rendahnya pertumbuhan rumah sakit dan lemahnya kemampuan berbahasa asing. Ironisnya, data WHO 2005 menunjukkan bahwa dunia justru kekurangan 2 juta perawat, baik di AS, Eropa, Australia dan Timur Tengah. Fakta lain di lapangan, saat ini banyak tenaga perawat yang bekerja di rumah sakit dan puskesmas dengan status magang (tidak menerima honor seperserpun) bahkan ada rumah sakit yang meminta bayaran kepada perawat bila ingin magang. Alasan klasik dari pihak rumah sakit “mereka sendiri yang datang minta magang”. Dilematis memang, tinggal di rumah menganggur , magang di rumah sakit/puskesmas tidak dapat apa-apa . Padahal kalau kita menyadari sebenarnya banyak sekali kesempatan dan tawaran kerja di luar negeri seperti :USA,. Canada, United Kingdom (Inggris), Kuwait, Saudi Arabia, Australia, New Zaeland, Malaysia, Qatar, Oman, UEA, Jepang, German, Belanda, Swiss (Yusuf, 2006).

Kemampuan bersaing perawat Indonesia bila di bandingkan dengan negara-negara lain seperti Philipines dan India masih kalah . Pemicu yang paling nyata adalah karena dalam system pendidikan keperawatan kita masih menggunakan “Bahasa Indonesia”sebagai pengantar dalam proses pendidikan. Hal tersebut yang membuat Perawat kita kalah bersaing di tingkat global. Salah satu tolak ukur kualitas dari Perawat di percaturan internasional adalah kemampuan untuk bias lulus dalam Uji Kompetensi keperawatan seperti ujian NCLEX-RN dan EILTS sebagai syarat mutlak bagi seorang perawat untuk dapat bekerja di USA. Dalam hal ini kualitas dan kemampuan perawat Indonesia masih sangat memprihatinkan (Muhammad, 2005)

Sejak disepakatinya keperawatan sebagai suatu profesi pada Lokakarya Nasional Keperawatan tahun 1983, terjadilah pergeseran paradigma keperawatan dari pelayanan yang sifatnya vokasional menjadi pelayanan yang bersifat professional. Keperawatan kini dipandang sebagai suatu bentuk pelayanan professional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang meliputi aspek bio,psiko,sosio dan spiritual yang komperehensif, dan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat yang baik yang sehat maupun yang sakit dan mencakup seluruh siklus hidup manusia . Sebagai profesi yang masih dalam proses menuju “perwujudan diri”, profesi keperawatan dihadapkan pada berbagai tantangan. Pembenahan internal yang meliputi empat dimensi domain yaitu; Keperawatan, pelayanan keperawatan, asuhan keperawatan, dan praktik keperawatan. Belum lagi tantangan eksternal berupa tuntutan akan adanya registrasi, lisensi, sertifikasi, kompetensi dan perubahan pola penyakit, peningkatan kesadaran masyarakat akan hak dan kewajiban, perubahan sistem pendidikan nasional, serta perubahan-perubahan pada suprasystem dan pranata lain yang terkait (Yusuf, 2006).
Keluarnya Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU No 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional serta Surat Keputusan Menteri Kesehatan No 1239/Menkes/SK/2001 tentang registrasi dan praktik keperawatan lebih mengukuhkan keperawatan sebagai suatu profesi di Indonesia. Adanya Undang-undang No. 8 tahun 1999 tetang Perlindungan Konsumen semakin menuntut perawat untuk melaksanakan praktik keperawatan secara profesional menjadi suatu keharusan dan kewajiban yang sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi. Penguasaan Ilmu dan keterampilan, pemahaman tetang standar praktik, standar asuhan dan pemahaman hak-hak pasien menjadi suatu hal yang penting bagi setiap insan pelaku praktik keperawatan di Indonesia (Yanto, 2001)
Konsekuensi dari perkembangan itu harus ada jenjang karier dan pengembangan staf yang tertata baik, imbalan jasa, insentif serta sistem penghargaan yang sesuai dan memadai. Rendahnya imbalan jasa bagi perawat selama ini mempengaruhi kinerja perawat. Banyak perawat bergaji di bawah upah minimum regional (UMR). Sebagai gambaran, gaji perawat pemerintah di Indonesia antara Rp 300.000-Rp 1 juta per bulan tergantung golongan. Sementara perawat di Filipina tak kurang dari Rp 3,5 juta (Kompas, 2001)
Selain memiliki kemampuan intelektual, interpersonal dan teknikal, perawat di Indonesia juga harus mempunyai otonomi yang berarti mandiri dan bersedia menanggung resiko, bertanggung jawab dan bertanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukannya, termasuk dalam melakukan dan mengatur dirinya sendiri. Tetapi yang terjadi di lapangan sangat memilukan, banyak sekali rekan-rekan Perawat yang melakukan “Praktek Pelayanan Kedokteran dan Pengobatan” yang sangat tidak relevan dengan ilmu keperawatan itu sendiri. Hal tersebut telah membuat profesi Perawat di pandang rendah oleh profesi lain. Banyak hal yang menyebabkan hal ini berlangsung berlarut-larut antara lain:
a. Kurangnya kesadaran diri dan pengetahuan dari individu perawat itu sendiri.
b. Tidak jelasnya aturan yang ada serta tidak tegasnya komitmen penegakan hukum di Negara Republik Indonesia.
c.Minimnya pendapatan secara finansial dari rekan-rekan perawat secara umum
d.Kurang peranya organisasi profesi dalam membantu pemecahan permasalah tersebut.
e.Rendahnya pengetahuan masyarakat, terutama di daerah yang masih menganggap bahwa Perawat juga tidak berbeda dengan “DOKTER”atau petugas kesehatan yang lain (Muhammad, 2005)
Kondisi Sistem Pendidikan Keperawatan di Indonesia
Pengakuan body of knowledge keperawatan di Indonesia dimulai sejak tahun 1985, yakni ketika program studi ilmu keperawatan untuk pertama kali dibuka di Fakultas Kedokteran UI. Dengan telah diakuinya body of knowledge tersebut maka pada saat ini pekerjaan profesi keperawatan tidak lagi dianggap sebagai suatu okupasi, melainkan suatu profesi yang kedudukannya sejajar dengan profesi lain di Indonesia. Tahun 1984 dikembangkan kurikulum untuk mempersiapkan perawat menjadi pekerja profesional, pengajar, manajer, dan peneliti. Kurikulum ini diimplementasikan tahun 1985 sebagai Program Studi Ilmu Keperawatan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tahun 1995 program studi itu mandiri sebagai Fakultas Ilmu Keperawatan, lulusannya disebut ners atau perawat profesional. Program Pascasarjana Keperawatan dimulai tahun 1999. Kini sudah ada Program Magister Keperawatan dan Program Spesialis Keperawatan Medikal Bedah, Komunitas, Maternitas, Anak Dan Jiwa.
Sejak tahun 2000 terjadi euphoria Pendirian Institusi Keperawatan baik itu tingkat Diploma III (akademi keperawatan) maupun Strata I. Pertumbuhan institusi keperawatan di Indonesia menjadi tidak terkendali. Seperti jamur di musim kemarau. Artinya di masa sulitnya lapangan kerja, proses produksi tenaga perawat justru meningkat pesat. Parahnya lagi, fakta dilapangan menunjukkan penyelenggara pendidikan tinggi keperawatan berasal dari pelaku bisnis murni dan dari profesi non keperawatan, sehingga pemahaman tentang hakikat profesi keperawatan dan arah pengembangan perguruan tinggi keperawatan kurang dipahami. Belum lagi sarana prasarana cenderung untuk dipaksakan, kalaupun ada sangat terbatas (Yusuf, 2006). Saat ini di Indonesia berdiri 32 buah Politeknik kesehatan dan 598 Akademi Perawat yang berstatus milik daerah,ABRI dan swasta (DAS) yang telah menghasilkan lulusan sekitar 20.000 – 23.000 lulusan tenaga keperawatan setiap tahunnya. Apabila dibandingkan dengan jumlah kebutuhan untuk menunjang Indonesia sehat 2010 sebanyak 6.130 orang setiap tahun, maka akan terjadi surplus tenaga perawat sekitar 16.670 setiap tahunnya. (Sugiharto, 2005).
Salah satu tantangan terberat adalah peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) tenaga keperawatan yang walaupun secara kuantitas merupakan jumlah tenaga kesehatan terbanyak dan terlama kontak dengan pasien, namun secara kualitas masih jauh dari harapan masyarakat. Indikator makronya adalah rata-rata tingkat pendidikan formal perawat yang bekerja di unit pelayanan kesehatan (rumah sakit/puskesmas) hanyalah tamatan SPK (sederajat SMA/SMU). Berangkat dari kondisi tersebut, maka dalam kurun waktu 1990-2000 dengan bantuan dana dari World Bank, melalui program “health project” (HP V) dibukalah kelas khusus D III keperawatan hampir di setiap kabupaten. Selain itu bank dunia juga memberikan bantuan untu peningkatan kualitas guru dan dosen melalui program “GUDOSEN”. Program tersebut merupakan suatu percepatan untuk meng-upgrade tingkat pendidikan perawat dari rata-rata hanya berlatar belakang pendidikan SPK menjadi Diploma III (Institusi keperawatan). Tujuan lain dari program ini diharapkan bisa memperkecil gap antara perawat dan dokter sehingga perawat tidak lagi menjadi perpanjangan tangan dokter (Prolonged physicians arms) tapi sudah bisa menjadi mitra kerja dalam pemberian pelayanan kesehatan(Yusuf, 2006).
Kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan sisitem pendidikan keperawatan di Indonesia adalah UU no. 2 tahun 1989 tentang pendidikan nasional, Peraturan pemerintah no. 60 tahun 1999 tentang pendidikan tinggi dan keputusan Mendiknas no. 0686 tahun 1991 tentang Pedoman Pendirian Pendidikan Tinggi (Munadi, 2006). Pengembangan sistem pendidikan tinggi keperawatan yang bemutu merupakan cara untuk menghasilkan tenaga keperawatan yang profesional dan memenuhi standar global. Hal-hal lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu lulusan pendidikan keperawatan menurut Yusuf (2006) dan Muhammad (2005) adalah :
1. Standarisasi jenjang, kualitas/mutu, kurikulum dari institusi pada pendidikan.
2. Merubah bahasa pengantar dalam pendidikan keperawatan dengan menggunakan bahasa inggris. Semua Dosen dan staf pengajar di institusi pendidikan keperawatan harus mampu berbahasa inggris secara aktif
3. Menutup institusi keperawatan yang tidak berkualitas
4. institusi harus dipimpin oleh seorang dengan latar belakang pendidikan keperawatan
5. Pengelola insttusi hendaknya memberikan warna tersendiri dalam institusi dalam bentuk muatan lokal,misalnya emergency Nursing, pediatric nursing, coronary nursing.
6. Standarisasi kurikulum dan evaluasi bertahan terhadap staf pengajar di insitusi pendidikan keperawatan
7. Departemen Pendidikan, Departemen Kesehatan, dan Organisasi profesi serta sector lain yang terlibat mulai dari proses perizinan juga memiliki tanggung jawab moril untuk melakukan pembinaan.

Trend Dan Isu Keperawatan Di Indonesia
Salah satu masalah kesehatan yang menonjol di Indonesia semenjak otonomi daerah adalah kasus gizi buruk. Salah satu cara pemerintah untuk mengatasi masalah ini adalah dengan melakukan revitalisasi untuk menghidupkan kembali konsep Posyandu melalui konsep Desa Siaga. Kebijakan pemerintah ini dapat mengalami hambatan untuk diwujudkan karena tidak melibatkan perawat untuk ambil bagian dari desa siaga tersebut, yang disebabkan kurangnya pemahaman pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan tersebut atau memang sengaja pemerintah untuk tidak melibatkan perawat. Padahal dengan adanya spesialisasi keperawatan komunitas dan keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1239 tahun 2001 tentang registrasi dan praktik perawat, tenaga keperawatan dapat memberikan kontribusi yan maksimal dalam penyukseskan program desa siaga.
Saat ini masih terjadi persepsi yang keliru si masyarakat tentang profesi keperawatan di Indonesia. Persepsi keliru itu terjadi karena kesalahan informasi yang mereka terima dan kenyataan di lapangan. Kondisi ini didukung pula dengan kebudayaan dan kebiasaan-kebiasaan perawat seperti mengambilkan stetoskop, tissue untuk para dokter. Masih banyak para perawat yang tidak percaya diri ketika berjalan dan berhadapan dengan dokter. Paradigma ini harus dirubah, mengikuti perkembangan keperawatan dunia. Para perawat menginginkan perubahan mendasar dalam kegiatan profesinya. Kalau tadinya hanya membantu pelaksanaan tugas dokter, menjadi bagian dari upaya mencapai tujuan asuhan medis, kini mereka menginginkan pelayanan keperawatan mandiri sebagai upaya mencapai tujuan asuhan keperawatan
Institusi pendidikan keperawatan sangat bertanggungjawab dan berperan penting dalam rangka melahirkan generasi perawat yang berkuwalitas dan berdedikasi. Pemilik dan pengelola insititusi pendidikan keperawatan yang sama sekali tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang keperawatan baik secara disiplin ilmu atau profesi dapat menjadi penyebab rendahnya mutu lulusan dari pendidikan keperawatan yang ada. Hal ini dapat di ukur dengan kalah bersaingan para Perawat Indonesia bila di bandingkan dengan negara-negara lain seperti Philipina dan India. Pemicu yang paling nyata adalah karena dalam system pendidikan keperawatan kita masih menggunakan “Bahasa Indonesia”sebagai pengantar dalam proses pendidikan. Hal tersebut yang membuat Perawat kita kalah bersaing di tingkat global.Disisi lain dengan berkembangnya pola pelayanan kesehatan di Indonesia memberikan kesempatan pada perawat untuk memperluas peran dan fungsinya, sehingga perlu ditunjang dengan latar belakang jenjang pendidikan tinggi dalam bidang keperawatan termasuk pendidikan spesialistik, sehingga mampu bekerja pada berbagai tatanan pelayanan kesehatan.
Isu hangat di berbagai pertemuan keperawatan baik regional maupun nasional adalah isu tentang jasa keperawatan. Hal ini merupakan kebutuhan mendesak, karena dapat menimbulkan dampak serius, seperti penurunan mutu pelayanan, meningkatnya keluhan konsumen, ungkapan ketidakpuasan perawat lewat unjuk rasa dan sebagainya. Isu ini jika tidak ditanggapi dengan benar dan proporsional dikhawatirkan dapat menghambat upaya melindungi kepentingan pasien dan masyarakat yang membutuhkan jasa pelayanan kesehatan, menghambat perkembangan rumah sakit serta menghambat upaya pengembangan dari keperawatan sebagai profesi. Hal ini juga terkait dengan kesiapan Indonesia menghadapi AFTA 2003.
Menurut Muhammad (2005) dan kompas (2001), Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah tenaga perawat yang menganggur , antara lain :
1. Mengembangkan praktik mandiri keperawatan secara berkelompok maupun individu untuk konsultasi, melakukan kunjungan rumah, hospice care untuk pasien terminal
2. Perawat bisa bekerja di perusahaan untuk menjaga kesehatan pekerja dan kecelakaan kerja
3. Perawat dapat melakukan dan terlibat secara aktif dalam melakukan riset dan penelitian di bidang keperawatan
4. Pemerintah memfasilitasi dan menggalakkan penempatan tenaga perawat di luar negeri bagi perawat yangmemenuhi kualifikasi.
5. Memberi sangsi kepada rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan yang memberikan gaji di bawah standar.

Pada akhirnya keperawatan yang bermutu adalah suatu bentuk pelayanan yang mampu memenuhi kebutuhan dan kepuasan pasien sebagai pelanggan. Untuk mencapainya Perawat dapat memulai dari dirinya sendiri, Perawat harus bekerja sesuai standar praktek pelayanan keperawatan sesuai wewenang dan tangung jawabnya, selalu berupaya mengembangkan diri melalui pendidikan dan pelatihan yang berkesinambungan serta sistem jenjang karir.


0 komentar: